Sejarah Rumah Panggung Manado
Pembahasan mengenai sejarah industry Rumah Panggung Manado yang berada di Kelurahan Woloan 1 tidak lepas dari pembicaraan mengenai rumah adat suku minahasa dan perjalanan sejarah zaman kemerdekaan Indonesia. Usaha rumah kayu woloan sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda.
Seiring berjalannya waktu, Rumah Kayu Woloan berkembang menjadi sebuah Industri kebanggaan masyarakat Woloan dan daerah sekitarnya.
Zaman Kolonial Belanda – Penjajahan Jepang (1920 – 1945)
Profesi pertukangan di Kelurahan Woloan (ie. Desa Woloan) sudah tumbuh dan berkembang sejak zaman kolonial Belanda. Keahlian pertukangan masyarakat Woloan semakin terasah dengan kehadiran tempat praktek/kursus yang dipelopori oleh Br. Van Den Linden SJ, seorang misionaris Jesuit Gereja Katolik dari Belanda.
Lokasi kursus berada tepat di belakang bangunan Geraja Katolik Paroki Bunda Hati Kudus Yesus – Woloan. Alat-alat pertukangan seperti mesin iris/bandsaw; mesin gergaji dan mesin lainnya disediakan untuk melatih para siswa yang kebanyakan berusia muda. Tempat praktek pertukangan ini terkadang juga disebut sebagai sekolah pertukangan yang mewadahi para tukang kayu dan tukang beton. Dahulu bangunan sekolah ini lebih dikenal dengan sebutan “Loss”.
Tujuan utama sekolah ini adalah melatih masyarakat lokal untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan pertukangan yang nantinya akan digunakan untuk membangun infrastruktur seperti Gereja; Rumah Sakit dan Sekolah di beberapa daerah misi Gereja Katolik lainnya. Salah satu contoh bangunan
yang dibangun dengan tenaga tukang dari Woloan adalah Geraja Katolik Paroki Kristus Raja di Desa Kembes – Minahasa yang dibangun pada tahun 1933.
Tahun 1930-an, beberapa orang perintis Industri Rumah Kayu Woloan sudah mulai memperjual-belikan bangunan rumah kayu dengan sistem barter. Sistem jual beli ini lebih dikenal masyarakat Woloan dengan sebutan “blante”. Rumah Kayu yang diperjual-belikan merupakan bangunan rumah yang sudah dan sementara ditinggali.
Rumah kayu yang pada umumnya berbentuk panggung dibongkar dan dirakit kembali di daerah tujuan pengiriman. Dari proses inilah dikenal sebutan Rumah Kayu Bongkar-Pasang (Knock-down). Material utama yang digunakan pada saat itu adalah kayu Cempaka. Masyarakat lokal menyebutnya “mareno”. Bangunan rumah kayu yang sudah laku biasanya langsung dibongkar dan dikirim menggunakan alat transportasi Roda-Sapi.
Nama-nama seperti: Berty “Beting” Motulo; John Boseke dan Paulus “Ulus” Tiow dapat dikatakan sebagai perintis awal berkembanganya Industri Rumah Kayu di desa Woloan. Mereka memperjualbelikan rumah kayu Woloan yang karena adanya permintaan akan hunian berbahan dasar kayu.
Era Kemerdekaan – Pergolakan PERMESTA (1945 – 1961)
Melewati tahun kemerdekaan, Industri Rumah Kayu Woloan semakin berkembang pesat. Tahun 1947 dibuka sekolah pertukangan di Paal III. Saat ini lokasinya berada di Kompleks Gereja Katolik Hati Kudus Yesus – Karombasan.
Ada banyak tukang kayu dari woloan yang belajar di sekolah ini. Kehadiran alat transportasi Truk melalui PESMI (Perserikatan Sopir Montir Tomohon) pada tahun 1948-1949 membantu proses pengiriman rumah kayu woloan semakin cepat dan menjangkau daerah di luar Tomohon.
Harga cengkih yang perlahan merangkak naik pada tahun 1950-an semakin menambah peluang Industri ini untuk berkembang pesat. Permintaan rumah kayu datang dari daerah-daerah penghasil cengkih seperti Sonder, Tondano dan sekitar Manado.
Karena banyaknya permintaan, para pelaku industri rumah kayu woloan mulai menjual produk ini dengan sistem pesanan. Calon pembeli dapat memesan Produk Rumah Kayu sesuai dengan desain dan ukuran yang diinginkan. Karena teknologi pertukangan yang belum memadai, waktu yang dibutuhkan untuk merakit 1 unit rumah tipe 2 kamar memakan waktu kurang lebih 7 minggu.
Memasuki tahun pergolakan PERMESTA (Perjuangan Rakyat Semesta) tahun 1958- 1961, perkembangan industri ini sempat terhambat.
Era Orde Baru – Tahun Milenial (1961 – 2000)
Berakhirnya pergolakan PERMESTA membuka pintu baru bagi perkembangan industri rumah kayu woloan. Keadaan ekonomi masyarakat pada umumnya semakin membaik dengan ditandai naiknya harga cengkih sampai tahun 1980-an.
Permintaan akan rumah kayu semakin meningkat pesat. Bahkan sudah ada yang mulai mendirikan bangunan rumah kayu khusus untuk dijual (ie. dipajang). Berbeda dengan sebelumnya, rumah kayu yang dijual ini merupakan bangunan yang sengaja dibangun untuk diperlihatkan kepada calon pembeli. Bangunan ini dipajang berjejeran di kiri dan kanan jalan utama sehingga bisa terlihat jelas dari kejauhan.
Permintaan rumah kayu woloan juga datang dari luar daerah seperti Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara bahkan sampai ke luar negeri. Awalnya, rumah kayu yang akan dikirim ke luar daerah Manado, diangkut menggunakan truk menuju Pelabuhan Bitung. Di sini material rumah kayu dibongkar dan dipindahkan ke kapal-kapal kargo dan kontainer.
Perkembangan industri tranportasi sangat membantu dalam proses pengiriman. Ditandai dengan masuknya kontainer ukuran 20 feet pada tahun 1990-an. Saat itu, biaya transportasi kontainer memakan anggaran sekitar 4-5 juta untuk pengiriman ke Surabaya dan Jakarta.
Jalan utama penghubung antar provinsi juga sangat membantu proses transportasi material kayu yang dipasok dari daerah sekitar Bolaang Mongondow. Sampai pada akhirnya, Industri Rumah Kayu Woloan telah dikenal masyarakat luas bahkan sampai ke Manca-negara memasuki era tahun milenial. CV. Rumah Panggung Manado telah melakukan export Rumah Panggung Manado ke Asia (Negeri Sembilan, Malaysia) dan negara Kamerun ( Afrika Tengah).
Era Tahun 2000 – Sekarang
Seiring berkembangnya teknologi mesin- mesin pertukangan dan permintaan akan desain yang lebih modern, industri rumah kayu woloan mulai memasuki era keemasan. Waktu perakitan dapat dipangkas menjadi lebih cepat. Saat itu, perakitan rumah kayu woloan tipe 2 kamar hanya membutuhkan waktu maksimal 3 minggu dengan 5 orang tukang kayu yang terampil.
Model dan desain rumah kayu woloan juga berubah mengikuti perkembangan zaman. Banyak permintaan datang dari para pelaku bisnis perhotelan dan pariwisata. Model hunian kayu seperti cottage dan bungalow menjadi semakin digemari pasar domestik.
Pelaku usaha industri rumah kayu woloan juga mulai menggunakan material kayu keras dengan nama Kayu Aliwowos. Kayu dengan warna yang cenderung merah-gelap ini difungsikan sebagai bahan material rangka rumah. Sedangkan untuk bagian lantai, dinding, plafon dan rangka atap menggunakan jenis Kayu Nyatoh.
Proses finishing yang lebih rapi menggunakan cat impra mulai diaplikasikan pada bangunan rumah kayu sekitar tahun 2000-an. Pengecatan rumah kayu awalnya diperkenalkan oleh Bpk. Leander “Leo” Sumakud – pengusaha rumah kayu Woloan yang sukses. Seiring waktu, industri rumah kayu Woloan mulai beralih menggunakan cat mowilex sebagai bahan cat kayu utama.
Sejak tahun 2015, industri rumah kayu woloan semakin dikenal dunia lewat event berkelas international seperti IFEX (International Furniture Expo) yang rutin diadakan setiap tahun. Dengan dukungan pemerintah, industri ini berhasil memperkenalkan keunikan Kota Tomohon di dunia international seraya menjaga kelestarian adat dan budaya lokal.